Minggu, 23 September 2018

AUTOBIOGRAFI


Ketika itu, hari Rabu tanggal 19 Februari 1997 berkumandang azan subuh di Pati. Bertepatan dengan itu pula saya dilahirkan dari rahim seorang ibu yang luar biasa. Nama saya Rukayati. Saya adalah anak bungsu dari dua bersaudara. Suatu hal yang menyenangkan dapat terlahir dari keluarga sederhana tapi selalu bahagia. Kami tinggal di Desa Jrahi RT 03 RW 05 Kecamatan Gunungwungkal Kabupaten Pati. Daerah ini merupakan daerah Pati Utara tapi daerah pegunungan. Saya menikmati masa kecil di desa yang penuh dengan keindahan dan memiliki udara yang masih sangat segar, bahkan desa saya juga dapat disebut sebagai desa wisata.
Saya menikmati masa Taman Kanak-kanak saya di TK Merpati 02 Jrahi.  Masa Taman Kanak-kanak ini saya jalani sekitar tahun 2002-2003. Masa ini adalah masa yang mana anak-anak belajar namun sambil bermain. Guru saya selalu mengajar dengan cara yang menyenangkan.
Setelah lulus dari Taman Kanak-kanak, saya melanjutkan belajar di sekolah dasar. Saya bersekolah di SD Negeri 01 Jrahi. Masa SD ini saya lalui sekitar enam tahun. Selama enam tahun itu tentu tercipta banyak kenangan. Setiap pagi saya dan teman-teman berangkat sekolah dengan berjalan kaki sekitar 15 menit. Jarak dari rumah ke sekolah memang cukup jauh, namun saya dan teman-teman selalu berjalan kaki ketika berangkat sekolah. Dengan berjalan kaki kami juga berolahraga sekaligus menikmati udara pagi yang masih segar.
Masa sekolah dasar saya lalui tanpa hambatan yang berarti. Semua hal yang saya lalui terasa menyenangkan. Dimulai dari kegiatan belajar mengajar hingga kegiatan lainnya seperti pramuka, kemah, dan mengikuti berbagai macam lomba. Salah satu prestasi yang pernah saya dapatkan di SD adalah juara III lomba cerdas cermat tingkat kecamatan. Prestasi itu saya dapatkan ketika kelas 5 SD.
Pada tahun 2009 saya dinyatakan lulus dari SD Negeri 01 Jrahi. Setelah lulus dari SD saya melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 02 Gunungwungkal. SMP ini adalah salah satu SMP favorit di daerah Pati Utara. Masa ini adalah masa yang mana saya bertemu dengan orang-orang baru dalam hidup saya. Awalnya tentu saya merasa canggung dan agak susah dalam beradaptasi. Namun seiring berjalannya waktu akhirnya saya sangat menikmati masa ini. Proses belajar mengajar berlangsung menyenangkan. Hampir semua guru mengajar dengan penuh kesabaran. Selain belajar di dalam kelas, saya juga mengikuti kegiatan ekstrakurikuler pramuka, komputer, dan desain motif tekstil.
Ketika telah lulus dari SMP, saya berkeinginan melanjutkan SMA di SMA Negeri 1 Juwana. Namun kedua orangtua tidak mengizinkan. Mereka ingin saya bersekolah di SMA Negeri 1 Tayu. Dengan berat hati saya menuruti keinginan orangtua. Saat itu juga saya merasa bahwa ikhlas adalah hal yang sangat sulit. Sampai saya duduk di kelas XI saya belum sepenuhnya ikhlas sekolah di sana. Semuanya terasa sangat membosankan. Bolos sekolah sudah bukan hal yang tabu. Terkadang saya bolos sekolah hanya untuk tidur seharian di rumah.  Kebiasaan buruk itu saya hilangkan ketika kelas XII. Saya menjadi siswa rajin ketika kelas XII hingga akhirnya pada tahun 2015 saya dinyatakan lulus dari SMA Negeri 1 Tayu.
Setelah lulus dari SMA tentu saya memikirkan tentang PTN maupun PTS yang akan saya pilih. Bahkan sebelum dinyatakan lulus juga saya sudah mendaftar SNMPTN. Ketika pengumuman tiba, hal baik belum berpihak pada diri saya. Saya dinyatakan gagal dalam SNMPTN. Saya pun mengikuti SBMPTN dengan mengambil PTN dan jurusan yang sama, namun hasilnya gagal juga hingga akhirnya saya mengikuti berbagai Ujian Mandiri di beberapa PTN di Indonesia. Beberapa ujian mandiri yang saya ikuti juga berakhir dengan menyedihkan, semuanya gagal.
Dari berbagai kegagalan, kedua orangtua menyarankan untuk mendaftar di PTS. Saya akhirnya memutuskan untuk mendaftar di Universitas PGRI Semarang. Ketika itu saya agak bingung dalam menentukan jurusan, namun akhirnya saya mendaftarkan diri dengan mengambil jurusan Pendidikan  Bahasa dan Sastra Indonesia. Saya pun diterima dijurusan ini. Suatu hal yang menyenangkan saya dapat diterima di UPGRIS dengan jurusan PBSI. Awalnya memang susah dalam beradaptasi, namun seiring berjalannya waktu saya sangat bersyukur berada di sini. Banyak ilmu yang saya dapatkan, baik itu dari perkuliahan maupun dari lingkungan sekitar. Semua terasa menyamankan hingga sekarang saya semester 7.

Rabu, 21 Desember 2016

Ulasan Teater Jaka Tarub



Ulasan Teater Jaka Tarub

Gedung Pusat lantai 7 Universitas PGRI Semarang menjadi saksi bisu pementasan teater Jaka Tarub dan monolog Balada Sumarah. Pementasan ini dillangsungkan pada hari Selasa, 04 Oktober 2016. Acara pementasan ini diselenggarakan oleh teater Gema.
Rasa penasaran yang begitu kuat mendorong mahasiswa untuk menyaksikan pementasan ini. Seperti yang sudah kita ketahui, teater bukanlah suatu hal yang tabu bagi mahasiswa. Terutama bagi kami mahasiswa Bahasa Indonesia. Selain para mahasiswa, ada beberapa siswa SMA yang ikut serta menyaksikannya. Satu per satu penonton berdatangan dan menunggu di depan pintu masuk Gedung Pusat lantai 7. Walaupun harus antre dan berpanas-panasan, penonton tetap menunggu hingga pintu masuk dibuka. Masalah waktu yang tidak sesuai dengan jam yang tertera dijadwalpun sudah menjadi hal yang biasa. Kamipun sebagai penonton tetap setia untuk menunggu.
Sekitar pukul 15.35 pintu masukpun dibuka. Satu per satu penonton secara berurutan memasuki tempat pementasan. Penonton harus berjalan disela tembok dan kain hitam yang gelap. Hanya ada suara hentakan sepatu yang mengiri langkah para penonton. Dinginnya ruangan ditempat pementasan itu semakin menambah hening suasana sebelum pementasan dimulai.
Para penonton berjajar rapi. Setelah sorot lampu panggung dinyalakan ada dua orang perempuan menyapa kami. Mereka adalah pemandu acara selama pementasan ini berlangsung. Ada sedikit kalimat-kalimat pembuka yang mereka ucapkan sembari menunggu segala sesuatunya siap. Namun suara mereka terkadang terdengar begitu lirih sehingga kami sebagai penonton tidak bisa mendengarnya dengan jelas. Setelah segala sesuatunya siap pementasan teater Jaka Tarub dimulai.
Ini bukanlah kali pertama saya menonton teater. Kali ini seni teater yang akan dipentaskan bertemakan cerita rakyat. Lebih tepatnya, teater yang akan dipentaskan adalah cerita rakyat Jaka Tarub. Semua orang di negeri ini tentu sudah mengetahuinya Dari judul tersebut, tentu sebagai seorang penonton kita sudah mengetahui tentang tokohnya, alur ceritanya, dan sebagainya. Dalam bayangan saya, ceritanya pasti menggunakan alur maju yang dimulai dari Jaka Tarub sewaktu masih bersama Ibunya seperti cerita yang sudah pernah kita baca ataupun sudah pernah kita dengar.
Namun sungguh diluar dugaan saya, cerita dibuka dengan alur yang berbeda. Cerita dibuka dari terbangunnya seorang Bapak dari tidurnya yang lelap di bawah bulan purnama yang indah. Sebuah mimpi telah membangunkannya. Tak jelas siapa Bapak yang baru bangun dari tidurnya itu. Dari adegan ini, saya sebagai penonton hanya mengetahui bahwa Bapak tersebut mempunyai putri cantik bernama Nawang. Melalui adegan pembukaan ini, saya mulai berpikir. Nampaknya cerita ini akan dibuat lebih menarik dan akan disajikan menggunakan alur yang berbeda.
Panggung pementasanpun gelap. Lampu-lampu kembali dimatikan. Tak nampak darimana datangnya sosok pria kurus, tinggi, dan berambut agak keriting yang tak lama kemudian ditemani oleh seorang tokoh yang berperawakan agak gemuk. Tokoh yang kurus, tinggi, dan berambut agak keriting bernama Jaka Tarub terbangun dari tidurnya karena sebuah mimpi. Setiap bulan purnama datang ia selalu bermimpi seperti itu. Suatu hal yang mustahil terjadi di dunia nyata. Perbincangan Jaka Tarub dan temannyapun terus berlangsung.
Cerita dilanjutkan dengan perginya Jaka Tarub ke sebuah hutan untuk berburu. Dalam waktu yang bersamaan, ada tujuh bidadri yang hendak turun ke bumi. Sebelum turun ke bumi mereka bercakap-cakap diantara awan dan di bawah indahnya bulan purnama. Beberapa  tokoh berekspresi seolah-olah mereka masih terbang dan hendak turun ke bumi.
Sebelum mandi di sungai, mereka meletakkan pakaian mereka di atas batu. Tak lama kemudian, ada suara ayam berkokok. Merekapun bergegas untuk kembali ke khayangan. Namun selendang Nawang Wulan tidak ada dan kemudian Jaka Tarub datang membawa pakaian sehingga Jaka Tarub dijadikan suami oleh Nawang Wulan.
Sorot lampu di panggung meredup. Setelah dihidupkan, ada dua tokoh yang datang untuk menghibur para penonton. Kurang jelas dua tokoh tersebut datangnya darimana dan bagaimana hubungannya dengan cerita yang dipentaskan. Nampaknya kehadiran mereka tidak ada hubungannya dengan cerita yang dipentaskan. Mungkin sang sutradara tidak ingin teater yang dipentaskan alurnya terlihat begitu cepat sehingga dimasukkanlah dua tokoh yang bernama Tomo dan Topo.
Tak lama kemudian, Jaka Tarub mendapatkan seorang anak dari Nawang Wulan yang diberi nama Nawangsih. Namun pada suatu hari Jaka Tarub ingkar terhadap Nawangwulan sehingga Nawangwulan marah. Pada akhirnya Nawangwulan mengetahui bahwa Jaka telah menyembunyikan selendangnya. Kemarahan Nawangwulan semakin menjadi-jadi. Nawangwulan berkata kepada Jaka bahwa cinta dan kebohongan itu suatu hal yang berbeda. Cerita diakhiri dengan terbangunnya seorang Bapak dari tidurnya seperti yang ada di awal cerita dan sorot lampu kembali dimatikan.
Sang sutradara menggunakan alur cerita yang cukup menarik dan terkesan berbeda dari cerita Jaka Tarub yang seperti biasa kita baca atau dengar. Ekspresi merupakan suatu hal penting dalam sebuah pementasan teater. Ekspresi yang tepat dapat membawa penonton untuk lebih memahami cerita, tetapi ekspresi yang tidak jelas juga akan membuat para penonton bingung atau salah dalam menafsirkan isi cerita. Namun setidaknya teater ini telah menghidupkan kembali ceri rakyat yang ada di Indonesia.

UPGRIS Bersastra



UPGRIS Bersastra

Bulan Bahasa yang jatuh pada bulan Oktober adalah bulan yang sangat spesial bagi kami mahasiswa Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni. Beberapa hari yang lalu, Balairung Universitas PGRI Semarang seolah-olah menjadi saksi bisu bedah buku karya sastrawan Triyanto Triwikromo. Gedung yang megah sengaja diseting sedemikian rupa untuk menyambut kedatangan sastrawan luar biasa kelahiran Salatiga ini. Sastrawan ini merupakan salah satu sastrawan yang pernah menempuh pendidikan S1 di Universitas PGRI Semarang. Tentunya hal itu menambah spesial momentum ini. Kami sebagai mahasiswa yang merupakan adik tingkat dari Beliau juga turut merasa bangga dan merasa menjadi orang yang spesial telah menjadi saksi bedah buku Beliau.
Musikalisasi puisi yang indah sengaja disuguhkan bagi para penonton dan penikmat sastra dalam acara ini. Musikalisasi puisi dibawakan oleh Biscuitime. Selain musikalisasi yang indah dari Biscuitime, Bapak Muhdi, SH., M.Hum. Rektor Universitas PGRI Semarang juga turut memberikan sambutannya.
Acara bedah buku ini terasa sangat spesial karena tidak hanya membedah satu buku. Ada 3 buku yang dibedah pada acara ini, diantaranya adalah Bersepeda ke Neraka, Selir Musim Panas, dan Sesat Pikir Para Binatang. Selain ada 3 buku yang dibedah, hadir pula 3 kritikus yang sangat luar biasa. Diantaranya adalah Bapak Nur Hidayat, Bapak Prasetyo Utomo, dan Bapak Widyanari Eko Putra. Namun spesialnya, buku-buku yang dibedah ini dikarang oleh satu pengarang hebat Bapak Triyanto Triwikromo. Acara ini ditemani oleh host yang istimewa Dr.Harjito dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas PGRI Semarang yang selalu santai dan selalu terlihat berwibawa dihadapan para mahasiswa.
Ada beberapa hal yang menarik dari penampilan yang disampaikan oleh para pengisi acara dan perbincangan para kritikus. Penampilan dari Rektor Universitas PGRI Semarang juga cukup mengejutkan. Tak tanggung-tanggung Beliau memainkan senar-senar gitar di atas panggung Balairung. Selain Bapak Muhdi, Ibu Sri Suciati juga turut meramaikan acara ini. Beliau membacakan puisi dengan ditemani alunan musik dari karawitan dan suara indah salah seorang mahasiswa Bahasa Inggris Universitas PGRI Semarang.
Karya yang dihasilkan oleh sastrawan Triyanto Triwikromo bukanlah karya yang sederhana dan dapat dimengerti dengan mudah oleh para pembaca. Ada salah seorang kritikus yang menyuarakan bahwa untuk memahami 3 buku karya Triyanto Triwikromo ini dibutuhkan suatu proses yang tak mudah. Ada beberapa buku yang harus dibaca terlebih dahulu agar mampu memahami dengan mudah karya sastrawan yang satu ini.
Dari hal yang dikemukakan salah seorang kritikus tersebut, mungkin dapat kita tafsirkan bahwa sastra bukanlah suatu hal yang mudah. Kebanyakan orang selalu memandang sebelah mata sebuah karya sastra. Mereka tidak tahu betapa susahnya belajar untuk menghasilkan sebuah karya sastra. Karya sastra juga suatu hal yang penting bagi seorang mahasiswa khususnya bagi kami mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Mahasiswa umumnya acuh terhadap karya sastra. Bagi sebagian mahasiswa, menonton sebuah pagelaran musik atau sekadar bepergian yang jauh tanpa tujuan yang pasti dianggap lebih asik daripada menonton musikalisasi puisi ataupun berbelanja novel di toko buku. Entah mengapa, kesenangan sesaat seperti itu memang selalu bisa menguasai diri mahasiswa. Namun tak semua mahasiswa seperti itu. Mungkin Triyanto Triwikromo adalah salah satu bukti nyata salah seorang mahasiswa yang mampu menentang godaan kesenangan sesaat ketika menjadi seorang mahasiswa.
Terkadang mahasiswa juga kurang memahami bahwa menikmati sebuah karya sastra juga dapat dianggap sebagai sebuah media belajar. Salah satu manfaat yang dapat kita ambil dari membaca sebuah karya sastra adalah mampu mengetahui atau belajar tentang kosakata maupun tata bahasa. Saya yakin, seseorang tak akan terlahir menjadi sastrawan yang hebat tanpa menguasai banyak kosakata. Sastrawan sehebat Triyanto Triwikromo juga tidak mungkin terlahir secara instan untuk menjadi sastrawan yang dikenal oleh banyak penikmat sastra. Beliau juga pernah merasakan susahnya belajar untuk membuat karya sastra seperti kita mahasiswa pada umumnya.
Tanpa kita sadari, menikmati sebuah karya sastra juga menjadi media yang menghibur. Orang-orang yang terbiasa menikmati sebuah karya sastra dapat mencari hiburan tersendiri melalui karya sastra yang dibaca atau disaksikannya. Bahkan mungkin bukan suatu hiburan yang biasa bila kita menjadi seorang sastrawan yang luar biasa seperti Triyanto Triwikromo. Tentunya sastrawan yang hebat juga memiliki cara tersendiri untuk bisa menikmati sebuah karya sastra.
Melalui hal-hal yang telah diutarakan oleh para kritikus, mungkin dapat kita ambil suatu aura positif. Melalui perbincangan singkat mereka, sedikit banyak kita telah mengetahui tentang sebuah karya sastra dan juga seorang sastrawan. Jika mendengar dari beberapa karya yang telah dibacakan oleh beberapa pembaca, kita dapat mengetahui beberapa hal tentang Triyanto Triwikromo. Mungkin salah satunya kita mampu mengetahui bahwa Beliau adalah salah satu sastrawan yang religius. Selayaknya sebagai seorang mahasiswa kita mampu meneladani sifat beliau yang mampu memahami betapa pentingnya sastra bagi seseorang, terutama bagi mahasiswa.