Rabu, 21 Desember 2016

Ulasan Teater Jaka Tarub



Ulasan Teater Jaka Tarub

Gedung Pusat lantai 7 Universitas PGRI Semarang menjadi saksi bisu pementasan teater Jaka Tarub dan monolog Balada Sumarah. Pementasan ini dillangsungkan pada hari Selasa, 04 Oktober 2016. Acara pementasan ini diselenggarakan oleh teater Gema.
Rasa penasaran yang begitu kuat mendorong mahasiswa untuk menyaksikan pementasan ini. Seperti yang sudah kita ketahui, teater bukanlah suatu hal yang tabu bagi mahasiswa. Terutama bagi kami mahasiswa Bahasa Indonesia. Selain para mahasiswa, ada beberapa siswa SMA yang ikut serta menyaksikannya. Satu per satu penonton berdatangan dan menunggu di depan pintu masuk Gedung Pusat lantai 7. Walaupun harus antre dan berpanas-panasan, penonton tetap menunggu hingga pintu masuk dibuka. Masalah waktu yang tidak sesuai dengan jam yang tertera dijadwalpun sudah menjadi hal yang biasa. Kamipun sebagai penonton tetap setia untuk menunggu.
Sekitar pukul 15.35 pintu masukpun dibuka. Satu per satu penonton secara berurutan memasuki tempat pementasan. Penonton harus berjalan disela tembok dan kain hitam yang gelap. Hanya ada suara hentakan sepatu yang mengiri langkah para penonton. Dinginnya ruangan ditempat pementasan itu semakin menambah hening suasana sebelum pementasan dimulai.
Para penonton berjajar rapi. Setelah sorot lampu panggung dinyalakan ada dua orang perempuan menyapa kami. Mereka adalah pemandu acara selama pementasan ini berlangsung. Ada sedikit kalimat-kalimat pembuka yang mereka ucapkan sembari menunggu segala sesuatunya siap. Namun suara mereka terkadang terdengar begitu lirih sehingga kami sebagai penonton tidak bisa mendengarnya dengan jelas. Setelah segala sesuatunya siap pementasan teater Jaka Tarub dimulai.
Ini bukanlah kali pertama saya menonton teater. Kali ini seni teater yang akan dipentaskan bertemakan cerita rakyat. Lebih tepatnya, teater yang akan dipentaskan adalah cerita rakyat Jaka Tarub. Semua orang di negeri ini tentu sudah mengetahuinya Dari judul tersebut, tentu sebagai seorang penonton kita sudah mengetahui tentang tokohnya, alur ceritanya, dan sebagainya. Dalam bayangan saya, ceritanya pasti menggunakan alur maju yang dimulai dari Jaka Tarub sewaktu masih bersama Ibunya seperti cerita yang sudah pernah kita baca ataupun sudah pernah kita dengar.
Namun sungguh diluar dugaan saya, cerita dibuka dengan alur yang berbeda. Cerita dibuka dari terbangunnya seorang Bapak dari tidurnya yang lelap di bawah bulan purnama yang indah. Sebuah mimpi telah membangunkannya. Tak jelas siapa Bapak yang baru bangun dari tidurnya itu. Dari adegan ini, saya sebagai penonton hanya mengetahui bahwa Bapak tersebut mempunyai putri cantik bernama Nawang. Melalui adegan pembukaan ini, saya mulai berpikir. Nampaknya cerita ini akan dibuat lebih menarik dan akan disajikan menggunakan alur yang berbeda.
Panggung pementasanpun gelap. Lampu-lampu kembali dimatikan. Tak nampak darimana datangnya sosok pria kurus, tinggi, dan berambut agak keriting yang tak lama kemudian ditemani oleh seorang tokoh yang berperawakan agak gemuk. Tokoh yang kurus, tinggi, dan berambut agak keriting bernama Jaka Tarub terbangun dari tidurnya karena sebuah mimpi. Setiap bulan purnama datang ia selalu bermimpi seperti itu. Suatu hal yang mustahil terjadi di dunia nyata. Perbincangan Jaka Tarub dan temannyapun terus berlangsung.
Cerita dilanjutkan dengan perginya Jaka Tarub ke sebuah hutan untuk berburu. Dalam waktu yang bersamaan, ada tujuh bidadri yang hendak turun ke bumi. Sebelum turun ke bumi mereka bercakap-cakap diantara awan dan di bawah indahnya bulan purnama. Beberapa  tokoh berekspresi seolah-olah mereka masih terbang dan hendak turun ke bumi.
Sebelum mandi di sungai, mereka meletakkan pakaian mereka di atas batu. Tak lama kemudian, ada suara ayam berkokok. Merekapun bergegas untuk kembali ke khayangan. Namun selendang Nawang Wulan tidak ada dan kemudian Jaka Tarub datang membawa pakaian sehingga Jaka Tarub dijadikan suami oleh Nawang Wulan.
Sorot lampu di panggung meredup. Setelah dihidupkan, ada dua tokoh yang datang untuk menghibur para penonton. Kurang jelas dua tokoh tersebut datangnya darimana dan bagaimana hubungannya dengan cerita yang dipentaskan. Nampaknya kehadiran mereka tidak ada hubungannya dengan cerita yang dipentaskan. Mungkin sang sutradara tidak ingin teater yang dipentaskan alurnya terlihat begitu cepat sehingga dimasukkanlah dua tokoh yang bernama Tomo dan Topo.
Tak lama kemudian, Jaka Tarub mendapatkan seorang anak dari Nawang Wulan yang diberi nama Nawangsih. Namun pada suatu hari Jaka Tarub ingkar terhadap Nawangwulan sehingga Nawangwulan marah. Pada akhirnya Nawangwulan mengetahui bahwa Jaka telah menyembunyikan selendangnya. Kemarahan Nawangwulan semakin menjadi-jadi. Nawangwulan berkata kepada Jaka bahwa cinta dan kebohongan itu suatu hal yang berbeda. Cerita diakhiri dengan terbangunnya seorang Bapak dari tidurnya seperti yang ada di awal cerita dan sorot lampu kembali dimatikan.
Sang sutradara menggunakan alur cerita yang cukup menarik dan terkesan berbeda dari cerita Jaka Tarub yang seperti biasa kita baca atau dengar. Ekspresi merupakan suatu hal penting dalam sebuah pementasan teater. Ekspresi yang tepat dapat membawa penonton untuk lebih memahami cerita, tetapi ekspresi yang tidak jelas juga akan membuat para penonton bingung atau salah dalam menafsirkan isi cerita. Namun setidaknya teater ini telah menghidupkan kembali ceri rakyat yang ada di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar