Ulasan
Teater Jaka Tarub
Gedung
Pusat lantai 7 Universitas PGRI Semarang menjadi saksi bisu pementasan teater
Jaka Tarub dan monolog Balada Sumarah. Pementasan ini dillangsungkan pada hari
Selasa, 04 Oktober 2016. Acara pementasan ini diselenggarakan oleh teater Gema.
Rasa
penasaran yang begitu kuat mendorong mahasiswa untuk menyaksikan pementasan
ini. Seperti yang sudah kita ketahui, teater bukanlah suatu hal yang tabu bagi
mahasiswa. Terutama bagi kami mahasiswa Bahasa Indonesia. Selain para
mahasiswa, ada beberapa siswa SMA yang ikut serta menyaksikannya. Satu per satu
penonton berdatangan dan menunggu di depan pintu masuk Gedung Pusat lantai 7.
Walaupun harus antre dan berpanas-panasan, penonton tetap menunggu hingga pintu
masuk dibuka. Masalah waktu yang tidak sesuai dengan jam yang tertera
dijadwalpun sudah menjadi hal yang biasa. Kamipun sebagai penonton tetap setia
untuk menunggu.
Sekitar
pukul 15.35 pintu masukpun dibuka. Satu per satu penonton secara berurutan
memasuki tempat pementasan. Penonton harus berjalan disela tembok dan kain
hitam yang gelap. Hanya ada suara hentakan sepatu yang mengiri langkah para
penonton. Dinginnya ruangan ditempat pementasan itu semakin menambah hening
suasana sebelum pementasan dimulai.
Para
penonton berjajar rapi. Setelah sorot lampu panggung dinyalakan ada dua orang
perempuan menyapa kami. Mereka adalah pemandu acara selama pementasan ini
berlangsung. Ada sedikit kalimat-kalimat pembuka yang mereka ucapkan sembari
menunggu segala sesuatunya siap. Namun suara mereka terkadang terdengar begitu
lirih sehingga kami sebagai penonton tidak bisa mendengarnya dengan jelas.
Setelah segala sesuatunya siap pementasan teater Jaka Tarub dimulai.
Ini
bukanlah kali pertama saya menonton teater. Kali ini seni teater yang akan
dipentaskan bertemakan cerita rakyat. Lebih tepatnya, teater yang akan
dipentaskan adalah cerita rakyat Jaka Tarub. Semua orang di negeri ini tentu
sudah mengetahuinya Dari judul tersebut, tentu sebagai seorang penonton kita
sudah mengetahui tentang tokohnya, alur ceritanya, dan sebagainya. Dalam
bayangan saya, ceritanya pasti menggunakan alur maju yang dimulai dari Jaka
Tarub sewaktu masih bersama Ibunya seperti cerita yang sudah pernah kita baca
ataupun sudah pernah kita dengar.
Namun
sungguh diluar dugaan saya, cerita dibuka dengan alur yang berbeda. Cerita
dibuka dari terbangunnya seorang Bapak dari tidurnya yang lelap di bawah bulan
purnama yang indah. Sebuah mimpi telah membangunkannya. Tak jelas siapa Bapak
yang baru bangun dari tidurnya itu. Dari adegan ini, saya sebagai penonton
hanya mengetahui bahwa Bapak tersebut mempunyai putri cantik bernama Nawang.
Melalui adegan pembukaan ini, saya mulai berpikir. Nampaknya cerita ini akan
dibuat lebih menarik dan akan disajikan menggunakan alur yang berbeda.
Panggung
pementasanpun gelap. Lampu-lampu kembali dimatikan. Tak nampak darimana
datangnya sosok pria kurus, tinggi, dan berambut agak keriting yang tak lama
kemudian ditemani oleh seorang tokoh yang berperawakan agak gemuk. Tokoh yang
kurus, tinggi, dan berambut agak keriting bernama Jaka Tarub terbangun dari
tidurnya karena sebuah mimpi. Setiap bulan purnama datang ia selalu bermimpi
seperti itu. Suatu hal yang mustahil terjadi di dunia nyata. Perbincangan Jaka
Tarub dan temannyapun terus berlangsung.
Cerita
dilanjutkan dengan perginya Jaka Tarub ke sebuah hutan untuk berburu. Dalam
waktu yang bersamaan, ada tujuh bidadri yang hendak turun ke bumi. Sebelum
turun ke bumi mereka bercakap-cakap diantara awan dan di bawah indahnya bulan
purnama. Beberapa tokoh berekspresi
seolah-olah mereka masih terbang dan hendak turun ke bumi.
Sebelum
mandi di sungai, mereka meletakkan pakaian mereka di atas batu. Tak lama
kemudian, ada suara ayam berkokok. Merekapun bergegas untuk kembali ke
khayangan. Namun selendang Nawang Wulan tidak ada dan kemudian Jaka Tarub
datang membawa pakaian sehingga Jaka Tarub dijadikan suami oleh Nawang Wulan.
Sorot
lampu di panggung meredup. Setelah dihidupkan, ada dua tokoh yang datang untuk
menghibur para penonton. Kurang jelas dua tokoh tersebut datangnya darimana dan
bagaimana hubungannya dengan cerita yang dipentaskan. Nampaknya kehadiran
mereka tidak ada hubungannya dengan cerita yang dipentaskan. Mungkin sang
sutradara tidak ingin teater yang dipentaskan alurnya terlihat begitu cepat
sehingga dimasukkanlah dua tokoh yang bernama Tomo dan Topo.
Tak
lama kemudian, Jaka Tarub mendapatkan seorang anak dari Nawang Wulan yang
diberi nama Nawangsih. Namun pada suatu hari Jaka Tarub ingkar terhadap
Nawangwulan sehingga Nawangwulan marah. Pada akhirnya Nawangwulan mengetahui
bahwa Jaka telah menyembunyikan selendangnya. Kemarahan Nawangwulan semakin
menjadi-jadi. Nawangwulan berkata kepada Jaka bahwa cinta dan kebohongan itu
suatu hal yang berbeda. Cerita diakhiri dengan terbangunnya seorang Bapak dari
tidurnya seperti yang ada di awal cerita dan sorot lampu kembali dimatikan.
Sang
sutradara menggunakan alur cerita yang cukup menarik dan terkesan berbeda dari
cerita Jaka Tarub yang seperti biasa kita baca atau dengar. Ekspresi merupakan
suatu hal penting dalam sebuah pementasan teater. Ekspresi yang tepat dapat
membawa penonton untuk lebih memahami cerita, tetapi ekspresi yang tidak jelas
juga akan membuat para penonton bingung atau salah dalam menafsirkan isi
cerita. Namun setidaknya teater ini telah menghidupkan kembali ceri rakyat yang
ada di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar